Persoalan Perempuan Perlu di Perjuangkan

lamantembawang | 23.48 |

Ilustrasi, Laman Tembawang
Pada awal masa perkembangan masyarakat di era komunal primitif, posisi perempuan dan laki-laki sama. Masyarakat komunal primitif yang hidup berkelompok dalam grup-grup (comune) dan berpindah-pindah (nomaden) ini memenuhi kebutuhan hidupnya dengan metode berburu hewan serta meramu sayuran dan buah-buahan. Dalam sebuah komune, harta benda (hewan hasil buruan serta sayuran dan buah-buahan) dimiliki secara kolektif oleh anggota komune yang kemudian dibagi secara adil sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota komune tersebut.
Dalam proses pemenuhan kebutuhan ekonominya, muncul kebutuhan untuk melakukan pembagian tugas di antara sesama anggota komune. Perempuan yang memiliki siklus alami reproduksi menyebabkan mereka lebih banyak mendapat pekerjaan meramu, sementara yang laki-laki berburu. Proses berburu pada jaman itu tidak ada rentang waktu kepastian kapan pulang kembali ke komune, karena metode berburu ini bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan lamanya. Ketidakpastian waktu berburu dan stok makanan yang mulai menipis, mendorong perempuan untuk mengembangkan metode bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Pada perkembangannya, proses bercocok tanam terbukti lebih efektif daripada berburu. Dan ini menjadikan perempuan kemudian lebih berdominan di kelompok, karena perempuan-lah yang menjadi tulang punggung pemenuhan kebutuhan ekonomi komune. Dominasi perempuan dalam hubungan produksi, kemudian berkembang pada dominasi dalam berbagai aspek kehidupan komune. Dalam pengambilan segala keputusan, setiap komune memiliki sebuah dewan permusyawaratan yang itu juga didominasi oleh perempuan. Dan bahkan, banyak sekali perempuan yang kemudian menjadi pimpinan komune. Pada fase inilah awal kemunculan pola matrilineal dalam komune, dimana garis keturunan komune berdasarkan pada garis keturunan perempuan/ibu yang menjadi pemimpin dalam komune tersebut.
Ketika sumber buruan semakin sulit diperoleh, maka beralihlah kaum laki-laki dari pekerjaan berburu untuk kembali ke komune dan terlibat dalam pekerjaan bercocok tanam yang sebelumnya lebih banyak dikerjakan oleh perempuan serta mengembangkan metode berternak hewan. Karena laki-laki jauh lebih mahir menggunakan alat kerja (berangkat dari pengalamannya sebagai pemburu hewan) dari pada perempuan, maka perlahan-lahan perempuan mulai terdesak oleh laki-laki dalam hubungan produksi. Baik itu pertanian maupun peternakan. Selain itu, juga karena perempuan banyak disibukkan oleh proses reproduksi yang dialaminya (hamil, melahirkan dan menyusui), yang mengakibatkan perempuan kembali mendapatkan pekerjaan meramu sebab pekerjaan tersebut lebih mudah dikerjakan sembari merawat anak. Akan tetapi, ketika itu belum ada diskriminasi terhadap perempuan.
Berkembangnya sektor pertanian, mengakibatkan persaingan antar komune untuk memperebutkan lahan yang subur dan dekat dengan sumber air. Persaingan ini mengarah pada perang antar komune. Dan tentu saja, komune yang memenangkan peperangan adalah komune yang memiliki banyak laki-laki dan tentu saja juga dipimpin oleh laki-laki. Karena laki-laki lebih mahir dan berpengalaman dalam menggunakan alat kerja dan senjata untuk berburu, bercocok tanam dan berternak.
Dari peperangan antar komune inilah, lahir klas dalam masyarakat. Sebab, komune yang kalah kemudian dijadikan sebagai budak oleh para pimpinan dan prajurit perang dari komune yang memenangkan peperangan. Sedangkan harta kolektif milik komune yang kalah, menjadi harta milik pemimpin komune dan hadiah bagi para prajuritnya. Sehingga, pemimpin-pemimpin komune yang menang perang berubah menjadi tuan budak. Peperangan antar komune yang semakin marak terjadi, mendorong adanya perubahan jaman dari komunal primitif menjadi jaman perbudakan. Dalam fase ini, perempuan tidak lagi mendominasi dan memimpin dalam komune. Sebagian besar dari mereka berada dalam klas budak yang tidak memiliki hak apapun atas dirinya sendiri yang itu artinya perempuan setara dengan barang.
Penindasan terhadap perempuan, dapat dilihat pada aspek memposisikan perempuan sebagai barang milik pribadi. Ini bisa dilihat ketika kepala komune memposisikan perempuan sebagai milik pribadinya, ”kamu tidak boleh berhubungan seks dengan orang lain selain saya, namun saya bisa saja berhubungan seks dengan semua budak perempuan yang saya miliki”. Praktek inilah yang mengilhami terjadinya keluarga monogami ataupun poligami yang bergaris keturunan laki-laki (patrilineal). Selain dimiliki untuk memuaskan hasrat seks tuan budak, perempuan juga diberi beban pekerjaan untuk mengolah pertanian, peternakan dan meramu makanan. Akan tetapi para budak tersebut (yang sebagian besar adalah perempuan), tidak memiliki hak apapun atas dirinya sendiri, dan bahkan tidak setiap hari mendapatkan makanan.
Penindasan budak oleh tuan (pemilik) budak ini yang mengilhami perlawanan budak kepada tuan budak dan menuntut pembebasan. Meningkatnya perlawanan budak, membuat tuan budak terpaksa memerdekakan budak-budaknya dan merubah klas budak menjadi tani hamba. Sedangkan tuan budak, karena kini hanya memiliki tanah sebagai harta pribadinya; maka berubah menjadi tuan (pemilik) tanah.
Akan tetapi, tuan-tuan tanah ini tentu saja tidak ingin kehilangan 100% tenaga kerjanya selama ini. Maka, diciptakanlah budaya patriarkhi. Perempuan dibebaskan secara relatif dengan membatasi ruang gerak perempuan serta menciptakan opini mengenai watak dasar perempuan. Budaya patriarkhi mengidentikkan perempuan sebagai manusia yang lembut, santun, lemah gemulai, dan hanya boleh bekerja dalam lingkungan terbatas. Fase feodal ini memang sengaja memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki demi kepentingan untuk menundukkan tani hamba yang memang mayoritas adalah perempuan.
Kedatangan bangsa asing ke Indonesia yang melakukan kolonialisme terhadap Indonesia, tidak pernah menghancurkan sistem feodalisme dalam masyarakat. Mereka justru menjadikannya sebagai basis sosialnya dalam melakukan penjajahan terhadap rakyat Indonesia. Sebab, mereka membutuhkan keberadaan tuan-tuan tanah tersebut untuk pendirian perkebunan luas sebagai jaminan suplai bahan mentah bagi industri di negara mereka. Mereka juga membutuhkan tenaga kerja murah agar dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dan industri rakitan di dalam negeri Indonesia sebagai pasar bagi hasil produksi industri mereka serta konsumen atas barang dagangannya. Kolonialisme juga memanfaatkan budaya patriarkhi untuk mengkebiri perempuan Indonesia.
Dalam fase-fase selanjutnya, ketika Indonesia telah merdeka sekalipun, penindasan tersebut masih terus berlangsung. Hal ini karena kemerdekaan bangsa Indonesia telah dihianati oleh Perjanjian Damai Konferensi Meja Bundar yang menjadikan Indonesia sebagai negara setengah jajahan dan tetap menggunakan feodalisme sebagai basis sosialnya. Revolusi Hijau yang digencarkan Orde Baru tidak membongkar hubungan produksi feodalistik yang menjadi penyangga budaya patriarkhi. Akibatnya, kaum perempuan menjadi kalangan yang menanggung beban paling berat. Partisipasi perempuan dalam proses produksi pertanian di pedesaan semakin hilang, dan pergilah mereka bermigrasi ke kota atau luar negeri untuk mencari sumber penghidupan bagi mereka dan keluarganya.

Category:

Admin @lamantembawang:
Silahkan meninggalkan komentar yang membangun dan berguna

Governance and Sustainable Fair - Contact: nikasiusmeki@gmail.com