Kehidupan Kaum Buruh

lamantembawang | 23.53 |

Ilustrasi, Laman Tembawang
Saat ini imperialisme Amerika Serikat dan Negara-negara imperialis lainnya sedang mengalami krisis yang sangat akut akibat over produksi seperti kredit macet perumahan, komoditas berteknologi canggih seperti industri persenjataan, industri kendaraan bermotor, dan lain sebagainya. Selain itu AS juga mengalami krisis energi sebagai salah satu unsur terpenting dalam aktifitas produksinya. Sementara agresi militer yang dilancarkan AS terhadap Irak dan Afganistan telah berdampak pada semakin membengkaknya utang AS. Agresi AS ke Irak sendiri telah menghabiskan anggaran sebesar USD 3 trilliun atau lebih dari Rp 27.000 triliun. Krisis ini sesungguhnya telah terjadi sejak akhir tahun 2000 lalu, dan oleh pemerintahan AS sendiri diakui sebagai krisis terparah semenjak krisis hebat (great depression) yang pernah terjadi pada tahun 1930-an yang telah melahirkan Perang Dunia (PD) II. Krisis ini telah berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi AS, bahkan di bulan Juni 2009, pertumbuhan ekonomi AS sempat minus 1,4% dengan defisit anggaran terbesar dalam sejarah AS yakni USD 1,09 T.
Untuk mengatasi krisis yang semakin kronis tersebut, pemeritahan di negeri-negeri imperialisme mengeluarkan berbagai paket kebijakan. Misalnya Amerika Serikat menyiapkan anggaran sebesar USD 700 miliar pada pemerintahan George W. Bush, dan USD 700 miliar pada pemerintahan Barack H. Obama. Paket ini termasuk didalamnya dana talangan untuk institusi keuangan yang mencapai USD 250 miliar, jaminan deposito USD 250 ribu, dan dana likuiditas mencapai USD 900 miliar. Selain itu pemerintah AS juga menaikkan pungutan pajak dan menaikan jaminan simpanan bank dari USD 100.000 menjadi USD 450.000. Demikian halnya yang terjadi di Uni Eropa, Inggris mengeluarkan USD 691 miliar, menyuntikan dana hingga USD 64 miliar untuk tiga bank terbesar, dan akan menjamin USD 439 miliar untuk menopang proses peminjaman antar bank, jaminan deposito mencapai USD 87.857 dan dana likuiditas mencapai USD 351 miliar melalui cara lelang. Jerman menyiapkan anggaran sebesar USD 680 miliar, menyuntikan dana sampai USD 109.79 miliar untuk rekapitalisasi, USD 27.4 miliar untuk bank-bank yang mengambil jaminan pinjaman, jaminan deposito tanpa batas dan dana cadangan likuiditas mencapai USD 548.9 miliar. Irlandia menyiapkan anggaran sebesar USD 544 miliar, pemerintah dapat mengambil alih kepemilikan 6 bank yang terproteksi. Jaminan deposito tanpa batas dan enam bank di jamin. Perancis menyiapkan USD 492 miliar, dapat menyuntikan dana sampai USD 54.89 miliar untuk rekapitalisasi, pemerintah dapat mengambil kepemilikan saham dan jaminan deposito mencapai USD 95.179 serta dana cadangan likuiditas mencapai USD 439 miliar. Rusia; USD 200 miliar, berjanji meminjamkan USD 35 miliar kepada perbankan lokal, perusahaan swasta dapat meminjam mulai USD 100 juta sampai USD 2.5 miliar, serta menjamin penuh deposito. Asia; USD 80 miliar. (Kompas, 26 Oktober 2008)
Akibat krisis ini, terjadi PHK secara besar-besaran terhadap klas buruh di AS. Countrywide Financial Corporation, pemberi kredit hipotik perumahan terbesar di AS, merumahkan 12 ribu buruhnya. Keputusan yang sama juga diambil oleh Citi Group Inc, Merril Lynch, Lehman Brothers Holding Inc, First National Bank Holding Co, HSBC, Home Lender Holding Co, Scottdale, dan Indy Mac Bancorp Inc. (Tempo, 3 Februari 2008). Bahkan analisis dari Third World Network, Kanag Raja memperkirakan korban PHK akibat krisis ini mencapai 5 juta orang, sementara menurut ILO, akibat krisis sekitar 20 juta buruh akan kehilangan pekerjaan. Situasi ini menunjukkan bahwa krisis yang dialami oleh negara-negara imperialis, sangat parah dan sekaligus menunjukkan bahwa hakikat dari imperialisme akan selalu melahirkan krisis.
Krisis over produksi yang terjadi di negera-negara imperialisme, khususnya Amerika Serikat, mengharuskan Amerika Serikat untuk melipatgandakan penindasan, misalnya dengan cara-cara dikte kebijakan ekonomi melalui berbagai pertemuan internasional seperti pertemuan G-7, G-8, G-20, KTT menteri keuangan dunia, dan sebagainya yang kemudian gencar dipaksakan kepada seluruh negara yang tunduk kepadanya , termasuk Indonesia. Demikianpun dengan cara yang paling bar-bar, melalui poltik “libas dan tumpas” bagi negara-negara yang tidak mau tunduk terhadap Amerika Serikat, seperti yang dialami oleh Irak, Afganistan, Palestina, dan juga Pakistan yang mana pada akhir Desember 2009, Gedung Putih telah mengeluarkan ijin bagi CIA untuk melakukan serangan udara tanpa pilot. Hal ini dilakukan sebagai upaya Amerika Serikat untuk menguasai kekayaan alam (khususnya minyak bumi) dan pasar baru terhadap hasil produksinya untuk mencegah terjadinya over produksi.
Krisis yang dialami oleh AS dan negara-negara imperialis lainnya, juga berdampak pada Indonesia, bahkan dengan tingkatan yang berlipat ganda. Ketika perekonomian AS dilaporkan mulai membaik pada akhir Desember 2009, tidak ada gejala sedikitpun yang menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia juga semakin membaik, bahkan sebaliknya, penghidupan rakyat Indonesia justeru semakin merosot. Harga-harga kebutuhan pokok yang terus mengalami kenaikan, sementara pendapatan rakyat tidak pernah mengalami peningkatan, justeru sebaliknya subsidi publik terus di pangkas dan beban pajak semakin naik. Saat ini jumlah rakyat miskin di Indonesia telah mencapai 14,2% atau 32,5 juta. Bahkan jika mengacu pada garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia sebesar USD 2 per hari, maka lebih dari 50% rakyat Indonesia berada dalam kategori miskin.
Menghadapi situasi krisis tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai paket kebijakan, seperti menaikan nilai jaminan tabungan dari Rp. 500 juta menjadi Rp. 2 miliar per nasabah yang ditujukan untuk mencegah terjadinya “rush” (penarikkan uang nasabah secara besar-besaran dalam waktu yang bersamaan) seperti yang pernah terjadi pada krisis 1997 yang menyebabkan bangkrut dan diakusisinya sejumlah bank swasta di Indonesia. Sementara imperialisme sangat bergantung kepada bank sebagai penjamin modal bagi kegiatan investasinya.
Selain itu pemerintah juga menyiapkan program buy back yang ditujukan untuk melakukan pembelian kembali saham-saham aset negara, ini bertujuan untuk menyehatkan kembali keuangan dari BUMN yang nilai sahamnya terus merosot. Program buy back hakekatnya hanya menyelamatkan Imperialisme dan memperpanjang nafas para borjuasi komprador, karena buy back nantinya akan membeli kembali saham-saham kepada perusahaan imperialis yang memegang gadai saham perusahan-perusahaan Indonesia. Misalnya ketika PT Bumi Resources Tbk milik PT Bakrie & Brothers Tbk yang sempat di suspen karena harganya menurun drastis, saat ini saham Bumi Resources dengan dua anak perusahaannya yaitu Arutmin dan Kaltim Prima Coal (KPC) sebanyak 5.017 sedang di gadaikan ke lembaga keuangan asing dan domestik, yang terbesar yaitu Oddickson finance, JP Morgan Chase, ICICI, Rekapital Securities, dan PNM Investement Management. Ini artinya negara yang harus membayar, sementara Bakrie Group sebagai komprador akan menikmati hasilnya, karena pasca pembayaran Repo (repurchase agreement) atau gadai, sebanyak 35 % saham Bumi Resources rencananya akan di jual kepada Northstar Pasific Ltd, yang didukung perusahaan private equity terbesar didunia dengan cadangan dana mencapai USD 27-28 milliar, yaitu Texas Pasific Group (TPG).
Selain kebijakan buy back, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan bail out, yakni pemberian bantuan langsung kepada pemilik atau perusahaan yang terlilit masalah finansial. Seperti yang terjadi pada kasus bail out Bank Century yang menghabiskan anggaran sebesar 6,7trilliun. Kondisi ini sama ketika krisis yang dihadapi pada tahun 1997 yang mana BLBI kemudian dikorup oleh para borjuis komparador dan kapitalis birokrat dan hingga sekarang kasus ini belum tuntas.
Dana program kenaikan nilai jaminan nasabah, buy back, dan bail out, sebagian besar berasal dari rakyat yang di himpun lewat berbagai sumber, mulai dari pajak, dana BUMN, dana BLBI serta APBN. Terbukti bahwa APBN 2009 berkurang sebesar Rp. 16,7 triliun untuk menjalankan program-program tersebut. Dengan demikian, pada akhirnya rakyatlah yang menjadi tumbal dari krisis ini. Tidak cukup dengan itu, seperti tidak peduli sama sekali dengan penderitaan rakyat, pada bulan Desember 2009 para menteri dan pejabat tinggi menerima bonus mobil mewah seharga Rp 1,3 miliar, jika pejabat yang menerima sebanyak 150 orang maka uang yang dikeluarkan untuk membeli mobil dinas tersebut mencapai lebih dari Rp 195 miliar.
Klas buruh Indonesia merupakan bagian dari rakyat Indonesia yang paling merasakan dampak akibat krisis imperialisme yang terjadi. Dengan dikeluarkannya SKB 4 Menteri (Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi, Dalam Negeri, Perindustrian Dan Menteri Perdagangan) No. 16 tahun 2008 Tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global, para pengusaha mendapatkan legitimasi untuk tidak membayar upah buruh dan menambahkan jam kerja yang melebihi ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dikatakan oleh pemerintah, hal ini ditujukan untuk menghindari PHK massal akibat krisis yang terjadi. Akan tetapi kenyataannya, PHK tetap saja berlangsung di Indonesia. Terhitung sejak Maret 2008 sampai Maret 2009, sebanyak 240,000 orang buruh harus terkena PHK. Bahkan jumlah PHK yang dirilis oleh KADIN mencapai angka lebih dari 500.000 orang, bahkan hingga Desember 2009, jumlah buruh yang di PHK mencapai 1,6 juta. Jumlah dipastikan akan terus meningkat dengan diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia dengan Cina (CAFTA). Karena sebelum kesepakatan ini saja, industri Indonesia sudah terpuruk akibat banyaknya hasil produksi yang masuk ke Indonesia dan dijual dengan harga yang sangat murah.
Sementara itu, klas buruh Indonesia juga masih harus berhadapan dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang tidak memberikan jaminan perlindungan atas pekerjaannya. Melalui sistem kerja kontrak, pengusaha mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan cara tidak memberikan hak-hak buruh sebagai upaya untuk mengurangi biaya operasional yang harus dikeluarkan. Dengan alasan kerja dalam masa percobaan, pengusaha tidak memberikan upah secara penuh kepada buruh. Dan rata-rata buruh yang bekerja hanya mencapai tiga bulan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemberian pesangon ketika buruh di PHK. Sementara dengan sistem outsourching, pengusaha menghindari pemberian hak-hak buruh dengan cara melemparkan tanggungjawab kepada perusahaan yang menyalurkan pekerjaan terjadap buruh.
Persoalan lainnya adalah soal jaminan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam bekerja. Misalnya dari hasil penelitian ILO, buruh perempuan Indonesia sangat rentan terkena kanker payudara karena tidak adanya waktu yang cukup untuk menyusui bayinya karena jam kerja yang terlampu lama. Dari paparan di atas, klas buruh adalah sektor yang paling tertindas akibat krisis imperialisme yang terjadi dan kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan imperialisme dari krisis yang dialaminya.

Category:

Admin @lamantembawang:
Silahkan meninggalkan komentar yang membangun dan berguna

Governance and Sustainable Fair - Contact: nikasiusmeki@gmail.com