Kondisi HAM Kalimantan Barat

lamantembawang | 06.21 |

Buku'ng Labu, Foto Laman Tembawang
Situasi internasional saat ini ditandai oleh menajamnya krisis ekonomi di negeri-negeri imperialisme, sangat berpengaruh terhadap situasi ekonomi seluruh dunia. Over produksi barang-barang teknologi tinggi dan over produksi di bidang persenjataan utamanya di negeri-negeri imperialisme pimpinan AS yang telah berlangsung semakin bertambah hebat ketika pada saat yang bersamaan, imperialisme AS dilanda krisis keuangan dengan meluasnya gejolak jatuhnya pasar saham pada sejumlah perusahaan milik kaum imperialisme, seperti Dow Jones, Nasdaq, dll. Akibatnya, secara keseluruhan perkembangan ekonomi AS jauh menurun bila dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya.
Krisis keuangan global ini, telah memukul sendi-sendi perekonomian yang kemudian memasuki semua sendi kehidupan serta diperkirakan. Maka dapat dipastikan bahwa sistuasi tersebut akan semakin memerosotkan kualitas kehidupan seluruh klas, golongan dan rakyat tertindas lainnya di berbagai negeri termasuk Indonesia yang selalu mengabdikan dirinya pada Imperialisme dengan berbasiskan monopoli tanah.
Pemerintah Indonesia sendiri dalam perkembangannya untuk menghadapi krisis telah mengeluarkan serangkaian paket kebijakan yang dianggap tidak akan mampu mencegah krisis yang kemudian malah bertambah parah, dan menyebar ke berbagai sektor. Kenyataannya berbagai kebijakan yang di keluarkan oleh rejim yang berkuasa tidaklah memberikan keuntungan apapun bagi rakyat, bahkan sebaliknya membawa kerugian bagi rakyat. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan Tuan Imperialisme sebagai kekuasaan tertinggi dari kapitalisme monopoli dan mereka sebagai kaki tangannya..
Program yang dikeluarkan adalah Tripel Track yaitu Pro Growth, Pro Employment dan Pro Poor. Progam inilah dalam perspektif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Pro Growth pro terhadap pertumbuhan melalui pembangunan, pertanian dan segala sumber komoditi pasar dunia yang akan melakukan pembukaan Hutan, Perkebunan, dan Pertanian yang seluas-luasnya. Pro Employment pro terhadap tenaga kerja dan Pro Poor pro terhadap kemiskinan. Dengan watak yang bergantung terhadap Modal Asing (kapitalisme monopoli) tentu program ini akan membuka peluang Investasi yang sebesar-besarnya. Maka, dapat dipastikan bahwa perampasan atas Tanah Rakyat akan semakin bertambah dan meluas. Dapat kita lihat sampai hari ini masih terjadi bahkan sangat marak kasus PHK yang dialami buruh Indonesia.
Pengganguran dan jutaan orang lainnya yang kehilangan pekerjaan, dari waktu ke waktu semakin mengalami peningkatan. Selain itu, sumber daya alam dikoyak-koyak melalui serangkaian operasi perusahaan-perusahaan milik imperialisme hingga menimbulkan kerusakan lingkungan pada derajat yang sudah sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup umat manusia bahkan telah mengancam jaminan hidup bagi generasi ke depan. Pamanasan global dan perubahan iklim yang tidak menentu yang menimbulkan berbagai bencana, seperti banjir, longsor, angin topan, kekeringan, badai salju dan lain-lain terus mengancam seluruh rakyat.
Demikian juga dengan kaum tani, harus menghadapi perampasan-prampasan tanah akibat ulah korporasi monopoli Internasional yang tiada henti melakukan praktek-praktek monopoli atas sumber-sumber agraria. Pertanian perseorangan skala kecil untuk subsisten farming didesak oleh pertanian skala besar (perkebunan) bagi tanaman-tanaman pasar, seperti karet dan sawit. Pertanian dan pedesaan pada umunya tidak mengalami kemajuan yang berarti, justru semakin jatuh dalam keterbelakangan secara ekonomi, politik maupun budaya.
Keadaan Konkrit di Kalimantan Barat, dimana Perusahaan Skala Besar Melanggar HAM. PT. Benua Indah Group (BIG) dalam membangun Perkebunan Kelapa Sawit di wilayah Kecamatan Sungai Melayu Rayak, Pemahan, Tumbang Titi, Nanga Tayap, Singkup, Marau dan Kendawangan Kabupaten Ketapang dengan membagi urusan manajemennya kedalam 4 anak perusahaannya yakni PT. Antar Mustika Segara (AMS) dengan luas SHGU No. 1 seluas ± 2.230 Ha; PT. Duta Sumber Nabati (DSN) Sebidang tanah SHGU No. 2 seluas ± 3.087 Ha; PT. Bangun Maya Indah (BMI) SHGU No. 1 seluas ± 4.034 Ha, dan; PT. Subur Ladang Andalas (SLA) Sebidang tanah SHGU No. 1 seluas ± 4.397,68 Ha. Keempat perusaah yang bernaung kedalam PT. Benua Indah Group mulai membangun Perkebunan Kelapa Sawit.
Sosialisasi pada saat penyuluhan bahwa sesampai dilokasi Transmigrasi langsung mendapatkan Rumah beserta pekarangannya seluas 0,25 Ha dan 1 Kapling (2 Ha) Kebun Sawit serta jatah hidup selama 2 tahun, tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena sesampai dilokasi transmigrasi pada tahun 1990 – an yang berada disekitar konsesi PT. BIG masih berupa hutan belantara. Masyarakat yang sudah turun temurun menempati wilayah tersebut, dipaksa untuk menyerahkan tanah dan meninggalkan kampungnya.
Namun pada saat beroperasi, mulai dari Desember 2008 PT. BIG dalam pembayaran TBS Petani Plasma tidak dipenuhi secara total. TBS Petani tetap saja diolah, dan CPO (Crude Palm Oil) tetap dijual tahap selanjutnya sampailah pada bulan Maret 2009 PT. BIG tidak memenuhi haknya para petani yang kemudian harus memenuhi kebutuhan hidupnya , rumah tangganya, pendidikan anaknya, dan lain sebagainya. Ini yang merupakan pelanggaran HAM yang paling besar, menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam hal ini para petani plasma yang TBS mereka tidak dibayar oleh perusahaan PT. BIG. Satu sisi mereka telah dirampas haknya atas Tanah, sisi lain mereka dirampas atas upah dan kerja. Hal ini yang membuat para petani harus menuntut hak-hak demokratisnya.
Dengan keadaan Petani Kelapa Sawit semakin terpuruk, PT. BIG hanya mengobral janji – janji dan aparat Pemerintah yang ditemui seakan lepas dari tanggung jawab. Maka, pada tanggal 24 Maret 2009 petani dari Kecamatan Sungai Melayu Rayak, Pemahan, Tumbang Titi, Nanga Tayap, Singkup, Marau dan Kendawangan Kabupaten Ketapang berbondong – bondong mendatangi Gedung DPRD Kabupaten Ketapang untuk mengadukan masalah tersebut dan harapan ada solusi dari pemerintahan terkait. Petani bertekad tidak akan pulang jika TBS yang sudah dipanen dan diserahkan selama 4 bulan ( Desember 2008 – Maret 2009) tidak dibayar oleh PT. BIG.
Selama menduduki Gedung DPRD Kabupaten Ketapang, petani sangat kecewa karena tidak ada satupun anggota DPRD Kabupaten Ketapang yang berada ditempat, semuanya sedang melakukan Kampanye. Baru sorenya Wakil Ketua DPRD Yohanes Supardjiman didampingi Sekretariat Dewan, bersama dengan Kepala Kepolisian Resor Ketapang Ajun Komisaris Besar Polisi Karyoto serta Wakil Kepala Kepolisian Resor Ketapang Komisaris Polisi Denny Y Putro, menerima massa aksi.
Dalam pertemuan tersebut dilakukan secara tertutup dan terjadi perdebatan yang sangat alot, akhirnya disepakati malam tanggal 24 Maret 2009 Perwakilan Petani, bersama dengan Wakil Ketua DPRD bertemu dengan Bupati Kabupaten Ketapang Morkes Effendi. Hasil dari pertemuan tersebut, Bupati Ketapang mengeluarkan surat dengan nomor 188.342/0808/HK-A pada 27 Maret yang isinya Bupati beserta jajaran MUSPIDA di Kabupaten Ketapang meminta agar diberikan persetujuan sementara waktu, untuk mengalihkan penjualan serta pengolahan tandan buah segar (TBS) para petani, ke perusahaan-perusahaan terdekat.
Disamping itu, dalam pertemuan tersebut memutuskan ketemu langsung dengan Pemilik PT. BIG (Budiono Tan) yang akan dilakukan pada tanggal 28 Maret 2009 di Hotel Kapuas Palace Pontianak, Rombongan tersebut terdiri dari unsur Perwakilan Petani, DPRD Kabupaten Ketapang, Wakil Bupati Kabupaten Ketapang yang dipimpin secara langsung oleh Bupati Ketapang H. Morkes Effendi. Rombongan gagal, tidak membuahkan hasil apa – apa. Karena Bos PT. Benua Indah Group, Budiono Tan tidak datang ketempat perundingan yang sudah disepakati.
Setelah terjadi kericuhan antara Petani dengan Pemerintah Kabupaten Ketapang beserta Aparat Kepolisian, serta terjadi kesalah pahaman antar Petani itu sendiri. Kemudian Petani melakukan Musyawarah terbuka untuk menentukan langkah perjuangan kedepannya pada tanggal 30 Maret 2009 di Ruang Rapat Paripurna Gedung DPRD Kabupaten Ketapang. Hasil rapat umum tersebut memutuskan Petani tetap bertahan di Gedung DPR D Ketapang dan Perwakilan dari 26 desa dari 7 Kecamatan sekitar PT. BIG melakukan pertemuan dengan Pemilik PT. BIG di Jakarta yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Ketapang.
Kemudian tanggal 31 Maret dan 1 April 2009 Rombongan secara bergelombang Delegasi Perwakilan Petani yang didampingi Pemerintah Kabupaten Ketapang pergi ke Jakarta untuk melakukan Pertemuan dengan Budiono Tan dikantor Pusat PT. BIG. Pertemuan di Jakarta berlangsung alot dan panas karena pihak PT. BIG berusaha menghindar dari tanggung jawabnya membayarkan TBS hasil Petani dengan alasan tidak cukup uangnya. Alasan ini dibantah oleh Petani, karena selama ini pabrik tetap operasional dan PT. BIG tetap menjual Crude Palm Oil (CPO) hasil olahannya. Setelah terjadi perdebatan yang panjang kemudian pihak PT. BIG berjanji membayar TBS petani namun cuman 1 bulan saja itupun tidak semuanya karena pihak PT. BIG bisa mengusahakan uang cuman Rp. 10 Milyar padahal untuk membayarkan total satu bulan kurang lebih harus menyediakan uang Rp. 13 Milyar, sedangkan sisanya akan dibayarkan selanjutnya.
Walaupun hasilnya tidak sesuai dengan mandate yang diberikan akhirnya Rombongan dengan perasaan yang kecewa memutuskan pulang ke Ketapang Propinsi Kalimantan Barat. Selanjutnya, Perwakilan dari Petani dan PemKab Ketapang menjelaskan kepetani yang masih setia menunggu di Gedung DPRD. Mendengar informasi dari delegasi kurang lebih 1.200 orang perwakilan dari 26 Desa di 7 Kecamatan kecewa atas hasil delegasi yang ke Jakarta. Namun demekian setelah dijelaskan dengan baik, terutama alasan Ketertiban dan Keamanan karena PEMILU 2009 tinggal 4 hari lagi, maka dengan perasaan kecewa menerima hasil dari negosiasi di Jakarta tersebut.
Tahap selanjutnya para Petani pada bulan November 2009 kembali mendatangi DPRD Kabupaten Ketapang atas persoalan pembayaran TBS yang belum dipenuhi oleh PT. BIG. Mereka minta supaya mereka mendapatkan solusi yang baik namun hingga saat ini perusahaan masih nunggak 2 bulan senilai 40 Miliar (Pontianak Post, 16 November 2009)
Dengan tendensi fasis yang dilakukan jelas ini adalah bentuk dari Pelanggaran HAM. Disamping kasus keterlambatan pembayaran TBS petani plasma PT BIG, kasus penggusuran lahan (wilayah adat) di Kampung Silat Hulu Desa Bantan Sari, Kec. Marau Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat Oleh PT Bangun Nusa Mandiri (Sinar Mas Group) terhadap Tanah Rakyat juga kemudian berujung dengan dikriminaslisasikannya masyarakat. Selain itu, berbagai tindak represifitas aparat keamanan terhadap petani juga tejadi dibeberapa tempat seperti kasus kriminalisasi terhadap petani PT. Ware Singkawang, masih ditahannya petani di Desa Semunying Jaya akibat menolak ekspansi perkebunan skala besar PT Ledo Lestari (Duta Palma Group). Hal ini menjelaskan bahwa demokrasi yang ada di Indonesia pada hakekatnya adalah demokrasi yang hanya diperuntukan bagi keuntungan klas penguasa yang terdiri dari kapitalisme birokrat, tuan tanah dan para borjuasi besar komprador. tidak ada satu pun celah bagi rakyat untuk menikmati iklim kebebasan demokratis yang ada.
Melihat kenyataan diatas, jelaslah bahwa Indonesia pada umumnya, dan Kalimantan Barat secara khusus yang dipimpin oleh rejim boneka imperialisme paling setia menggunakan cara apapun untuk melanggengkan kepentingan imperialisme di Indonesia termasuk dengan menindas rakyat. Dengan tetap konsisten pada pendirian reaksionernya, yaitu memoles negeri ini sedemikian rupa demi mendatangkan modal asing sebasar-besarnya. Pemerintah akan menjamin keuntungan dan keamanan modal-modal asing di dalam negeri dengan membuat kebijakan kebijakan anti-nasionalisasi, anti-landreform, anti-mogok, anti-serikat buruh dan anti-terhadap gerakan demokratis yang menghambat investasi asing.

Category:

Admin @lamantembawang:
Silahkan meninggalkan komentar yang membangun dan berguna

Governance and Sustainable Fair - Contact: nikasiusmeki@gmail.com